Lintas Jurnal TIPIKOR
Takalar, Jum’at, 29 November 2025. Hujan deras yang mengguyur wilayah Butta Panranuangku pada kamis malam sekitar pukul 18.30 WITA. Kembali menyoroti permasalahan yang dihadapi pengusaha kecil di Lapangan Makkatang Daeng Sibali.
Para pelaku usaha yang menggantungkan penghasilan dari lapak dan kios di lokasi tersebut, menghadapi kondisi kios yang tergenang air akibat buruknya sistem sanitasi.
Fasilitas minim ini menjadi tantangan besar bagi mereka dalam melanjutkan aktivitas perdagangan di musim hujan.
Kondisi ini kian diperburuk oleh kenyataan bahwa kios-kios tersebut merupakan hasil pembangunan Pemerintah Daerah (Pemda) Takalar di tahun ini (2024).
Ironisnya, meski fasilitasnya tidak memadai, para pengusaha kecil diwajibkan membayar retribusi yang sangat tinggi, salah satunya yang terjadi terhadap narasumber yang dimiliki awak media yang tidak ingin di publikasikan namanya. Dia juga memiliki kios sekitaran Lapangan, dia harus menyetor retribusi yang sangat tinggi sebesar Rp450.000 per bulan.
Jumlah ini, bagi dia sangat memberatkan, terlebih lagi, dia hanya pelaku UKM yang pendapatannya tidak menentu.
Berdasarkan penyampaian narasumber keawak media, bahwa “Kami sudah bayar mahal pak, kisaran Rp450.000 per bulan, tetapi fasilitas dan kondisinya begini saja. Saat hujan, kami malah tidak bisa jualan,” keluh pedagang.
Masalah genangan air ini sebenarnya bukan hal baru. Beberapa pedagang telah melaporkan kondisi tersebut kepada pihak terkait, tetapi hingga kini belum ada langkah konkret dari pihak Pemda Takalar untuk perbaikan lokasi kios-kios tersebut.
Hal ini membuat aktivitas perdagangan lumpuh setiap kali hujan deras yang melanda di areal Lapangan Makkatang Daeng Sibali.
Kenyataan ini memicu kritik terhadap Pemkab Takalar. Para pengusaha UKM merasa bahwa pihak pemerintah hanya fokus pada pemungutan retribusi tanpa memperhatikan kenyamanan dan kebutuhan dasar pedagang. “Kami ini sudah susah, jangan dipersulit lagi dengan fasilitas yang tidak mendukung. Kami butuh solusi, bukan sekadar pungutan,” tegas seorang pedagang lainnya.
Di waktu yang sama, saat awak media konfirmasi sama pihak Badan Pendapatan Pemerintah Daerah Kabupaten Takalar, dalam hal ini Kepala Bidang bagian Retribusi melalui sambungan saluran WhatsApp.
Dalam penyampaiannya Kepala Bidang keawak media, dia mengatakan bahwa dalam Penagihan retribusi di kios ataupun lapak yang berada di sekitaran Lapangan Makkatang Daeng Sibali, “itu penagihannya bukan lagi sistem per hari, tetapi sistem per bulan.
“Dan cara menentukan jumlah kisaran retribusi mereka, itu berdasarkan ukuran box atau tempat jualan mereka tersebut,” katanya.
Pak Kabid menambahkan, bahwa untuk mengetahui berapa jumlah uang yang mereka setor ke kantor kami dan sebagai kewajiban retribusi mereka. Lalu beliau menguraikan caranya, “yaitu panjang box kali lebar box sama dengan luas bos itu sendiri.
“Hasil luas box itu, di kali tiga ribu rupiah (Rp3.000), seterusnya di kali dengan 30 hari (per bulan). Dari hasil itulah, didapatkan beberapa jumlah yang harus mereka setor retribusi ke kantor kami dalam per bulan. Jadi, dari dasar perhitungan itulah, sehingga setoran retribusi mereka, bisa bervariasi mulai dari kisaran seratus ribu, dua ratus ribu dan ada juga menyetor kisaran tiga ratus ribuan dan malahan lagi ada beberapa kios yang menyetor empat ratus ribu keatas.” uraiannya pak kabid.
Selain itu, pedagang juga mengeluhkan kurangnya perhatian pemerintah dalam hal promosi lokasi pasar dan kebersihan lingkungan.
Para pengusaha kecil kini berharap Pemkab Takalar segera mengambil tindakan nyata untuk memperbaiki situasi ini.
Mereka meminta adanya sistem sanitasi yang memadai, perbaikan infrastruktur kios, serta pengurangan retribusi yang dinilai tidak seimbang dengan fasilitas yang disediakan.
“Kami hanya ingin keadilan. Jangan biarkan usaha kecil kami mati karena masalah yang sebenarnya bisa diatasi,” pungkas salah satu pedagang dengan penuh harap.
(Syabri Syam/TIM)
Bersambung












